Media Massa di Persimpangan Zaman
Media massa selalu menjadi pilar strategis dalam demokrasi. Ia tak hanya menyampaikan berita, tetapi juga menjadi penjaga nurani publik yang membantu masyarakat membedakan fakta dari rekayasa.
Namun, ketika teknologi digital merombak seluruh lanskap komunikasi, media menghadapi dilema besar. Di satu sisi, teknologi membuka peluang baru untuk menjangkau khalayak lebih luas. Di sisi lain, muncul tantangan serius: algoritma mengaburkan prioritas informasi, hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta, dan ribuan media digital berdiri tanpa standar verifikasi yang jelas.
Pelaksana Tugas Direktur Ekosistem Media pada Ditjen Komunikasi Publik dan Media, Farida Dewi Maharani, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pers dalam menciptakan ekosistem komunikasi yang adil dan berkelanjutan.
Sumber Rujukan yang Tergerus: Media dan Disrupsi Informasi
Media seharusnya menjadi sumber rujukan utama dalam membentuk opini publik. Namun kini, justru 73% masyarakat urban mengakses berita melalui media sosial, diikuti oleh televisi (59,7%) dan media online (25,2%). Di balik angka ini, terdapat krisis kepercayaan dan fragmentasi informasi yang memprihatinkan.
Lebih dari 15.000 konten hoaks teridentifikasi sepanjang tahun 2024. Ironisnya, hanya sekitar 2.000 dari 52.000 media online yang telah terverifikasi Dewan Pers. Di tengah kebisingan digital, suara media yang sah dan kredibel makin tenggelam.
Meski begitu, upaya perbaikan terus bergulir. Pemerintah menerbitkan Perpres No. 32 Tahun 2024 tentang Publisher Rights, mewajibkan platform digital berkontribusi terhadap kelangsungan hidup media lokal. Sebuah Komite Publisher Rights pun dibentuk sebagai wasit untuk memastikan distribusi berita digital berlangsung adil dan transparan.
Media sebagai Mitra Strategis Komunikasi Publik
Peran media massa lebih dari sekadar penyampai informasi. Media juga menjembatani kepentingan publik dan kebijakan pemerintah. Di era disrupsi ini, media tak hanya melaporkan, tetapi turut membentuk arah diskusi publik, menggerakkan kebijakan, dan mendorong partisipasi warga negara.
Farida menegaskan bahwa media, baik tradisional maupun digital, memiliki daya pengaruh besar terhadap cara masyarakat melihat dunia. Karena itu, membangun kemitraan antara pemerintah dan media menjadi keharusan, bukan pilihan.
Sinergi ini bisa terwujud melalui penyusunan roadmap regulasi media, pelatihan jurnalis, hingga program penguatan kapasitas media lokal agar bisa bertahan dan berkembang di tengah kompetisi global.
Keadilan Anggaran untuk Keadilan Informasi
Masalah lain yang mencuat adalah soal pemerataan government spending. Saat ini, sebagian besar anggaran belanja media masih terkonsentrasi pada segelintir media besar. Sementara itu, media lokal kekurangan insentif fiskal dan minim akses terhadap program-program pemerintah.
Untuk menjawab ketimpangan ini, pemerintah kembali mengandalkan Perpres 32/2024, yang mengatur tanggung jawab ekonomi platform digital terhadap jurnalisme berkualitas. Melalui mekanisme negosiasi kolektif antara media dan platform global, diharapkan tercipta model ekonomi digital yang lebih adil.
“Kesetaraan anggaran bukan sekadar soal distribusi dana, tapi soal keberpihakan pada keadilan informasi,” tegas Farida.
Agar perubahan ini benar-benar berdampak, perlu pengawalan bersama. Pemerintah, media, masyarakat sipil, dan platform digital harus duduk bersama, membentuk sistem yang menempatkan keadilan informasi sebagai fondasi demokrasi digital.
Menjaga Harapan di Tengah Disrupsi
Di tengah derasnya arus perubahan teknologi, posisi media massa tetap penting dan tak tergantikan. Ia bukan sekadar kanal informasi, tetapi penjaga nilai-nilai luhur bangsa.
Langkah-langkah konkret telah dimulai. Namun, jalan menuju ekosistem media yang sehat, adil, dan berkelanjutan masih panjang. Dengan kolaborasi, keberanian, dan komitmen bersama, media bisa kembali berdiri tegak sebagai penjaga nurani dan suara rakyat di era disrupsi ini.