Kasus eksekusi rumah di Batam kembali mengemuka ketika rumah di Perumahan Rosedale Blok E2 Nomor 3 dieksekusi PN Batam. Ahli waris keluarga Napitupulu menolak pengosongan dan menilai eksekusi tersebut cacat administrasi.
Perbedaan Dokumen Menjadi Sumber Keributan
Ahli waris mengklaim memiliki dokumen lengkap: AJB, IPH dari BP Batam, dan UWTO yang masih aktif hingga 2040. Namun pemohon eksekusi membawa dasar SHGB yang menurut ahli waris sudah kedaluwarsa sejak 2020.
Perbedaan inilah yang sering memicu konflik karena sistem tanah di Batam memakai dua jenis dokumen:
-
UWTO (dikelola BP Batam), dan
-
SHGB (dikeluarkan ATR/BPN).
Ketidaksinkronan dua sistem ini kerap membuka celah sengketa.
Kenapa SHGB Dipersoalkan?
SHGB wajib diperpanjang minimal dua tahun sebelum masa berlaku berakhir. Jika tidak, masa berlakunya putus dan harus mengurus ulang dengan rekomendasi BP Batam. Ahli waris menegaskan pemohon tidak pernah mendapatkan rekomendasi tersebut.
Pemohon menilai rumah itu bagian dari boedel pailit PT Igata. Namun ahli waris membantah karena sudah mengecek daftar aset pailit dan tidak menemukan nama rumah mereka.
Proses Eksekusi Tetap Berjalan
Meski ada penolakan, PN Batam tetap melaksanakan eksekusi berdasarkan penetapan pengadilan. Pemohon berpegang pada status pemenang lelang dan menyebut eksekusi sebagai bentuk kepastian hukum.
Ahli waris mengajukan gugatan baru untuk menguji keabsahan dokumen pemohon dan meminta pengadilan menilai ulang bukti-bukti. Proses ini telah memasuki sidang ketiga.
Pelajaran dari Sengketa Ini
Kasus ini menunjukkan bahwa tumpang tindih lahan di Batam memiliki akar yang sangat administratif. Ketidaksinkronan data UWTO dan SHGB membuka peluang sengketa, bahkan dugaan praktik mafia tanah.
Ahli waris berharap proses hukum dapat mengungkap kebenaran dan menegaskan hak kepemilikan mereka.(linda)

